Hai,
Halo aku adalah seorang anak perempuan yang pernah bergerak di akar rumput (Indonesia) menjadi pemegang ujung tombak kemajuan pendidikan, yap aku pernah menjadi seorang relawan guru (fasilitator pendidikan) lewat program Indonesia Mengajar. Lewat program inilah rasa kecintaanku kepada Indonesia Tumbuh, aku menyadari alangkah kaya nya negeri Indonesia ini ; beragam masyarakatnya dan kompleks permasalahannya, terlebih masalah pendidikan yang rasanya ga bakal cukup untuk ku tuliskan dan ceritakan dalam sebuah essay ini.
Kesempatan bekerja di daerah adalah kesempatan berharga bagiku, aku bersyukur di usiaku yang masih sangat muda, aku bisa dapat kesempatan itu disaat banyak teman-teman sebaya ku terlena akan gemerlap kehidupan kota, aku malah memilih jalan yang berbeda, aku resign dari pekerjaan ku, pekerjaan yang sangat kucintai dan banyak didambakan oleh orang lain, tapi entah kenapa dibalik rutinitas kerjaan ku yang monoton aku mendengarkan rasa gelisah dalam hatiku ketika melihat fenomena dan mendengarkan cerita kehidupan pendidikan di daerah. Cukup nekad tidak perlu meminta validasi dengan banyak orang pertengahan tahun 2022 kuputuskan berangkat meninggalkan keluarga, ortu, pertemanan dan kenikmatan material (penghasilan) yang sudah kudapatkan saat itu.
Sungguh aku tak menyesali keputusan itu hari ini, aku jauh lebih mengenal diriku walaupun saat ini kadang masih kesulitan struggle merawat idealisme, tapi aku selalu berupaya. Terjun langsung merasakan, melihat masyarakat di daerah, menyaksikan bapak ibu guru bekerja untuk pendidikan adalah sebuah kesyukuran dalam hidupku, aku jadi lebih pandai menghargai kesempatan, belajar toleransi dan lebih banyak mendengar, aku mengenal diriku sebagai seorang anak perempuan yang pembelajar.
Terbiasa hidup dengan penuh ketidakpastian, tantangan silih berganti membuatku tangguh hari ini, tidak lagi cengeng, aku cukup dewasa dalam menyikapi banyak masalah. Aku terbiasa untuk tidak memusingkan masalah atau tantangan yang ada, yang selalu kupusingkan adalah solusi apa yang bisa kulakukan.
Hidup berkelompok selama setahun dengan ragam perbedaan juga mengajarkan ku banyak hal baru, aku jadi terbiasa berkomunikasi dengan asertif, aku belajar berani mengekspresikan perasaanku dan menyampaikan apa inginku tanpa menyakiti orang-orang disekitarku.
Jauh dari keluarga adalah titik terendahku saat itu, aku baru menyadari betapa harus bersyukurnya aku yang masih mempunyai keluarga utuh ; ortu lengkap, adik kakak sehat dan bisa bersekolah semuanya, ketika aku ditugaskan jauh di pelosok Sulawesi aku dibuat sadar dan rasa syukur itu muncul berkali-kali lipat tidak seperti biasanya yang dimana aku sibuk pergi pagi pulang sore hidup hanya sekedar rumah kantor mencari cuan, hura hura happy, tapi aku tidak merasakan kebahagian itu bertahan lama, lain hal nya ketika aku berada didaerah kebahagianku cukup sederhana, tidak perlu validasi dari banyak orang cukup aku dipanggil dengan “Ibu guru Maya” aja aku sudah sangat bahagia, penuh kehangatan.
Ku akui kemampuan adaptasiku masih sangat susah saat itu, bagaimana tidak aku tinggal jauh disebuah dusun di seberang danau, kondisi geografis yang menantang ; jalan bebatuan, licin dan longsor, terisolir tanpa listrik, tanpa jaringan internet, tanpa keluarga dan menjadi minoritas di tengah masyarakat yang sangat taat memeluk agamanya Kristen Protestan dan aku tinggal bersama satu keluarga yang sangat religius. Letak rumahnya tepat di depan gereja.
Aku adalah anak yang dari kecil hingga dewasa selalu berada dilingkungan muslim cukup mengalami culture shock hebat, bahkan menangis terlebih ketika bulan ramadhan datang, sunyi sepi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dapat berburu takjil, berangkat taraweh bersama keluarga, tadarusan bersama teman, bukber dengan orang orang tercinta, namun tahun 2023 aku tidak mengalami itu, baru dari situlah aku menjadi orang yang sangat menghargai moment dan kebersamaan.
Aku sangat menghargai proses adapatasiku kala itu ; aku mendekatkan diri kepada anak-anak, aku bertanya banyak hal tentang dusun, aku bermain bersama mereka ikut serta aktivitas yang mereka lakukan, lalu ngobrol hingga menjadi sangat dekat dan akrab dan aku tidak kesepian lagi. Begitu juga dengan para orang tua dan masyarakat dusun, aku mendekatkan diri, awalnya mereka memandangku sebagai orang asing tapi lama kelamaan aku dianggap sebagai keluarga, mereka cukup segan terlebih dalam urusan makanan, aku mengajak ngobrol dan sediki sedikit menjelaskan apa yang bisa ku makan, apa kebiasaan ibadah ku, hingga mereka paham dan senangnya aku selalu diajak dilibatkan dalam setiap kegiatan didusun baik perlombaan 17an atau ada pesta pernikahan dan syukuran hasil kebun.
Benar kata seseorang yang pernah ku dengar bahwasannya toleransi itu baru bisa dapat kita pahami ketika kita sudah mengalaminya sendiri secara langsung. Dan sekarang aku mempercayai itu, apalah artinya kurikulum pendidikan pancasila yang mengajarkan makna toleransi tanpa disertai dengan mengalaminya secara langsung.
Dan kini aku sudah menyelesaikan masa pengabdianku dan
kecintaanku kepada Indonesia semakin bertambah
besar. Aku ingin merawat serta mengupayakan cita-cita masyarakat juga anak-anak di daerah lewat apapun peran yang sedang kujalani saat ini, memperjuangkan kehidupan adil sejahtera
mulai dari pendidikan, kesehatan dan kesetaraan sosial lainnya, sekecil
apapun mereka ; mereka tetaplah
bagian dari Indonesia.
Komentar
Posting Komentar