Sudah 2 bulan menjadi alumni Pengajar Muda, tapi sampai sekarang aku masih selalu terngiang-ngiang pada setiap moment kejadian yang kualami di dusun penempatan. Ada rasa sesal mengapa aku tidak banyak mengabadikan moment kala itu walau hanya sekedar memotret dengan kamera hp ku yang sudah tua ini. Hmm mengapa juga aku baru memutuskan untuk banyak mengabadikan moment di akhir - akhir penugasan dan tentunya sudah banyak moment yang terlewati, tapi yah sudahlah. Kini aku membongkar galeri hp ku mencari-cari gambar yang kadang membuatku ingat dan kangen dusun penempatanku.
Aku ditempatkan di dusun
Wongkodono, Kec. Lindu, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah. Waktu pertama kali datang ke dusun aku datang sendirian aku tidak diantar oleh PM sebelumnya tidak seperti teman-temanku
yang lain yang diantar sampai dirumah atau sekolah penempatan. Masih lekat diingatankan ku, karena satu dan lain hal aku dititipkan ke salah satu guru
di desaku lalu aku ditinggal untuk pergi ke dusun sendirian kala itu. Bermodalkan
selembar kertas surat tugas aku memberanikan diri ke rumah sekretaris desa, memperkenalkan diri lalu bertanya bagaimana caraku untuk menyeberang ke
dusun esok hari. Alhamdulillah kedatanganku disambut baik oleh sekretaris desa,
aku pun dibantu diberi tumpangan perahu kecil (ketinting) untuk menyeberang ke
dusun. Dan barang bawaanku banyak sekali, carier besar 60 L, 1 daypack dan
tengtengan tas kecil.
Masyarakat desa yang melihat barang bawaanku sebanyak itupun akhirnya menawarkan bantuan untuk membawakan barang bawaanku hingga ke tepi danau menggunakan motor, alhamdulillah, aku bisa berjalan
kaki dengan sedikit legah menuju tumpangan ketinting sesuai arahan bapak sekretaris
desa.
Sesampainya di dermaga dusun Wongkodono,
kulihat masyarakat sedang beraktivitas bongkar muat karung-karung besar yang
aku ga tau apa isinya, dulu ku pikir itu padi, ternyata salah… karung -karung
besar itu berisikan biji cokelat yang merupakan komoditi utama penghasilan
masyarakat dusunku.
Ketika ketinting sudah menepi ku
pinggirkan semua barang bawaanku ditepi dermaga, lagi-lagi aku bingung apa ada
ojek atau aku harus berjalan kaki menuju pemukiman, sungguh aku tidak tau
apa-apa kala itu…
Bapak sekretaris desa yang juga
ikut menyeberang ke dusun pagi itu, langsung mengarahkanku untuk menaikki sepeda motor lalu dibonceng seorang bapak-bapak. Pak sekdes dengan menggunakan bahasa Uma (bahasa sehari-hari masyarakat dusun Wongkodono) meminta tolong bapak tersebut mengantarku. Orang-orang yang melihatku menggunakan rompi bertuliskan
“Indonesia Mengajar” langsung menyapaku dengan sebutan ibu guru baru…
Aku langsung naik duduk di motor
yang akupun tidak ingat siapa bapak yang memboncengku kala itu, yang kuingat hanya
rupa motornya aja yang berbeda tidak seperti motor-motor dikota yang biasanya kupakai.
Motor nya sudah di modif menyesuaikan medan jalanan, bunyi knalpot yang nyaring
memecahkan kesunyian jalan becek berlumpur sembari menerjang banjir, yap saat itu air sedang
pasang alhasil beberapa ruas jalan menjadi banjir. Aku menarik nafas dan
berupaya mensugesti diri untuk tenang dan percaya dengan orang asing yang
sedang mengantarku ke dusun.
“Bapak, saya nanti diturunkan
di rumah ibu guru serlis ya…” pintaku kepada bapak yang menggocengku kala itu.
Akupun sampai didepan rumah Ibu
Guru Serlis, pintu rumahnya tertutup. Aku bingung…tapi tetangga dan beberapa masyarakat
yang sudah melihat kedatanganku dari kejauhan langsung menghampiri dan aku
diminta menunggu, sementara memanggil Ibu Guru Serlis yang sedang
mengajar di sekolah.
Tidak lama menunggu, Ibu Guru
Serlis datang. Kami lalu berkenalan berjabatan tangan… itulah awal mula
pertemuanku dengan Ibu Guru Serlis. Selesai meletakkan barang-barangku didalam
rumah, aku sudah tak sabar ingin melihat sekolah yang akan menjadi tempatku mengajar
selama setahun. Aku lalu ikut ibu Guru Serlis balik ke Sekolah dan berkenalan
dengan semua anak muridku kala itu.
Didalam sebuah ruangan aku
memperkenalkan diri secara resmi kepada anak-anaku sebagai Pengajar Muda yang
baru di sekolah mereka, mataku berkaca-kaca hampir saja menetes airmataku
tatkala aku melihat sosok-sosok rupa wajah muridku dengan pancaran mata yang
berbinar dan dengan rasa penuh penasaran tentang diriku (guru barunya). Aku
memperhatikan setiap sudut kelas itu, kutemukan banyak peninggalan kreatifitas hiasan
kelas dari Kak Adi (Pengajar Muda sebelumku) ; jadwal piket, jadwal mata pelajaran, lirik lagu-lagu nasional, lirik lagu pujian-pujian ibadah dan seuntas benang panjang yang memajang foto-foto kebersamaan anak-anak dengan kak Adi. Auto aliran rasa semangat menjangkit dalam
diriku, dalam hati aku berucap “Aku harus melanjutkan perjuangan kak Adi di
sekolah ini”
Selesai berkenalan, aku dan ibu
Guru Serlis pergi kerumah kepala dusun, lagi-lagi dengan bermodalkan selembar
kerta surat tugas aku memperkenalkan diri. Ngobrol panjang lebar eh ternyata
aku malah diminta tinggal dirumah kepala dusun saja sama seperti Kak Adi, aku jadi bingung dan ga enak dengan keluarga Ibu Guru Serlis, yang
kutau sesuai pesan dari Kak Adi sebelumnya aku diminta tinggal bersama
keluarga Ibu Guru Serlis, hmmm
Akhirnya siang itu juga aku membawa pindah barang-barangku ke rumah kepala dusun. Ada moment yang ga terlupakan kala itu dan ini menjadi jepretan foto pertamaku ketika berada di dusun, yaitu jepretan foto anak-anak muridku yang berbondong-bondong rebutan membantu membawakan barangku ke rumah kepala dusun, padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah ibu guru Serlis dan sebenarnya aku bisa membawa barangku sendiri.
Aku belum terbiasa mendapat perlakuan seperti itu, awalnya
aku menolak karena ya kasian anak-anak… tapi akhirnya aku belajar memahami
mungkin dengan cara itulah anak muridku menunjukkan rasa sayang dan
perhatiannya kepadaku, aku menghargai itu dan aku mempersilahkan mereka
membawakan barang-barangku yang sangat berat dan banyyaaakkk.. dari
belakang aku mengawasi langkah kaki mereka hingga tiba dengan aman di rumah kepala
dusun.
Ini adalah Adin dan Gio (anak kepala dusun) pada tanggal 15 September 2022 yang membawakan carrier 60L ku yang berisi pakaian dan serba serbi kebutuhan hidup setahun. Aku sangat berterima kasih sudah dibantu kala itu, aku merasa aman dan diterima sebagai orang asing yang baru saja datang. Aku disediakan sebuah kamar yang juga merupakan kamar Kak Adi sebelumnya.
Aku masuk kedalam kamarnya
memperhatikan kasur, dinding dan jendela... ah aku merebahkan badan diatas
kasur setelah mengunci pintu kamar sore itu, aku membayangkan bagaimana
Kak Adi bertahan hidup setahun dikamar ini, apakah aku juga
bisa bertahan?
Pikiranku berkecamuk penuh pertanyaan dan akhirnya aku terlelap karena rasa lelah seharian diperjalanan. Aku mulai menata hati dan belajar menerima segala kondisi didusunku yang tanpa listrik, tanpa sinyal. Tapi sayang aku ga bertahan lama tinggal dikamar itu. Minggu depan nya aku malah diminta lagi pindah ke rumah Ibu Guru Serlis oleh kepsekku…hmmm
Yabegitulah memang hidup sebagai Pengajar Muda penuh ketidakpastiian, aku hanya belajar menerima dan legowo menikmati setiap proses yang kujalani kala itu 😊
![]() |
Dan inilah kamar ku selama setahun yang disediakan oleh keluarga Ibu Guru Serlis yang sangat baik kepadaku |
![]() |
Stevie, Adin & Gio (Kelas 6) *belajar angka romawi menggunakan media korek api kayu |
Komentar
Posting Komentar