Pembantaian di Penempatan

Me & Ayub *potong ayam di Desa Moa

Keberadaanku sebagai satu-satunya muslim di dusun mengajarkan banyak hal, terlebih memahami makna toleransi. Banyak perasaan yang muncul ketika pertama kali datang sebagai minoritas, rasa takut, khawatir, cemas, haru, sedih dan gelisah. Syukurnya semua perasaan itu hanya datang sekilas bagai angin berlalu. Rasa itu hilang berpapasan dengan lucunya tingkah laku muridku. Tingkah laku yang menghiburku dan dari tingkah laku tersebut aku dapat menangkap pesan sederhana “Ibu guru jangan sedih, tenang jo…ada kami bajaga ibu guru disini”

Dusun penempatanku tidak lah luas, hanya berisikan 86 KK dengan total tidak lebih dari 300 jiwa. Dusun Wongkodono yang merupakan bagian dari Desa Langko, Kec. Lindu. Bagi Masyarakat dusunku, aku adalah muslim yang pertama kali tinggal berdampingan bersama mereka dalam waktu yang cukup lama, selama ini biasanya mereka hanya kedatangan muslim sebagai tamu. Masyarakat menerimaku dengan cukup ramah dan kami sama-sama beradaptasi saling mengenal orang baru.

Aku tinggal bersama satu keluarga sederhana yang taat memeluk agama Kristen Protestan. Masyarakat dusun mengenalnya dengan sebutan Keluarga Papa Sem. Yap Sem adalah nama adik piaraku sehingga papa piaraku dipanggil Papa Sem. Dan begitulah pula ketika aku ditanya “Ibu guru tinggal rumah siapa di Wongkodono?” maka aku akan menjawab “Tinggal di rumah papa Sem”

Selama menjadi Pengajar Muda banyak hal baru yang baru pertama kali aku lakukan, kadang aku ingin menertawakan diriku sendiri, menguji sampai dimana kemampuanku, menantang diri dengan pergumulan antara idealisme, prinsip dan kenyataan yang ada.

Pernah suatu hari, aku berada di desa temanku (Desa Kilo)1 untuk mengadakan kegiatan kelompok yang kami namai Pasiar Ngata2 yang dalam Bahasa Uma3 artinya berkeliling desa. Kami (Pengajar Muda) saling mengunjungi satu desa ke desa lainnya secara bergantian untuk berkegiatan bersama masyarakat, guru juga anak-anak di sekolah.

Salah satu rangkaian kegiatan di Desa Kilo adalah Kelompok Kerja Guru (KKG) yang tidak hanya diikuti oleh guru-guru di SDN Kilo tapi juga diikuti guru dari sekolah di desa- desa tetangga. Sebagai tuan rumah guru-guru SDN Kilo sibuk menyiapkan makanan dan akan menyembelih hewan peliaran mereka. Dan, karena mereka tau bahwa kami (Pengajar Muda) sebagian besar muslim dan mereka tau bahwa muslim hanya memakan hewan dengan tata cara tertentu, mereka meminta kami untuk memotong hewan yang akan dimasak. Seperti sudah tau kemampuanku, Ibu Orna (guru SDN Kilo) menghampiriku, memintaku menyembelih ayam.

“Aduh Ibu, jangan sa, tunggu Ayub Jo” (Aku menyebut nama teman cowokku yang muslim yang lebih jago menyembelih ayam)

Tapi karena saat itu teman-temanku sedang tidak berada di rumah termasuk Ayub dan tidak ada lagi orang (muslim) dirumah saat itu, mau tidak mau saya yang harus mengeksekusi ayam tersebut karena ibu-ibu di dapur sudah ingin segera memasak.

“Tapi bantu pegang bu e, apa sa takut-takut berani basembelih ayam” kataku saat itu mengiyakan dengan  menyeringai getir, senyum getir yang kupaksakan dalam ketegangan. Meskipun sudah pernah menyembelih ayam pertama kali di Desa Peana4 (Desa Ayub) tetap saja rasa ketegangan itu muncul.

Jika tidak melakukannya maka aku dan teman-temanku akan makan daging dengan seribu rasa gelisah. Maka akupun bangun berdiri lalu pergi ke dapur melihat dua ekor calon ‘korban’ yang akan kusembelih sembari mengingat tata cara menyembelih ayam yang pernah Ayub ajarkan kepadaku.

Aku merasakan jantungku berdetak semakin cepat, ketika aku melihat suami Ibu Orna membawa ayam itu keluar ke teras halaman rumah lengkap dengan membawa pisau tajam yang mengkilap.  Aku melihat ayam-ayam itu mengepakkan sayapnya yang seakan berteriak “Tolongggg! Jangaaaaan!”

Rasa belas kasihanku seakan hilang saat itu juga, dalam benakku hanya bagaimana agar aku menyembelih ayam ini dengan benar agar menjadi halal. Aku memegang pisau tajam itu lalu mencari meraba tenggorokan ayam mencari nadi dan berbisik, “Bismillah…Allahu akbar!” darah mengucur deras, begitu juga dengan jilbab dan bajuku penuh dengan percikkan darah ayam yang dikibaskan ayam setelah disembelih.

Sejak saat itu keesokkan harinya Ibu Orna lagi-lagi memintaku untuk menyembelih ayam bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, ga tanggung-tanggung langsung empat ekor, benar-benar uji nyali dan menjadi riwayat pengalaman yang langka.

Inilah nilai toleransi yang kupelajari ketika menjadi Pengajar Muda, masyarakat akan sangat menghargai perbedaan. Masyarakat desa senang mengadakan pesta ; pesta kawin, pesta ulang tahun maupun pesta ibadah. Jika ada pesta maka akan ada makan besar, masyarakat akan menyembelih hewan peliarannya. Dan Pengajar Muda termasuk saya akan diminta untuk menyembelih hewan yang akan dimasak dan disantap.

"Biar ibu guru bisa makan juga" begitu katanya.. 

Menyembelih hewan = Sidejob Pengajar Muda di penempatan :)

Difotoin sampe blur saking gemetarnya haha, ngeri-ngeri nagih



Komentar