Keluarga Ibu Gembala

Udah lama banget ga nulis, terakhir nulis bulan Juni. Dan kemaren malam aku bertemu dg teman lamaku yang membawaku berefleksi setelah bercerita "ternyata banyak yang belum kuceritakan kejadian-kejadian yg kualami dipenempatan, lalu muncul rasa khawatir jangan sampe aku lupa atau kehilangan rasa dari moment-moment itu" dan sepertinya memang perlu kutuliskan agar dapat selalu kuingat dan jadi penguat saat mungkin aku terbawa hanyutnya kehidupan di kota ini.
Kesederhanaan, keramahan, ketulusan orang-orang di daerah itu kuyakini akan membuat diriku  lebih kuat menjalani fase sekarang ini. 

Dan kali ini aku mau menuliskan cerita tentang satu keluarga yang kutemui di penempatan. Keluarga yang sederhana penuh kehangatan yang selalu memperhatikan ku. Keluarga Ibu Gembala yang sering ku panggil dengan "Mama Yoas". Ibu gembala sebutan untuk seseorang yang menjadi pemimpin disebuah gereja. Dan Yoas itu adalah nama anak pertama dari Ibu gembala, jadilah kupanggil Mama Yoas. 

Ibu Gembala memiliki 3 orang anak, yang dimana salah dua dari anaknya menjadi anak murid ku di sekolah. Yoses kelas 4 SD dan Yosia kelas 3 SD skrg, sementara Yoas adalah anak ibu gembala yang sekarang sedang melanjutkan sekolah SMP di Manado. 

Awal pertemuan dengan Ibu gembala aku menganggap ibu gembala sebagai orang tua murid yang perlu kudatangi dan dengarkan ceritanya terkait perkembangan anak-anaknya belajar. Rumah ibu gembala berada tepat di ujung dusun yang cukup jauh dari rumah tempat tinggalku, yang tentunya perlu effort lebih jika aku ingin main kerumahnya, tapi ntah kenapa aku selalu saja bersemangat ketika hendak main kerumahnya, karena aku merasa ibu adalah teman diksusi yang baik, enak diajak ngobrol dan nyambung setiap kali aku membahas permasalahan di sekolah, ya karena sebelum menjadi pimpinan gereja ibu adalah seorang guru. Beliau cukup berpengalaman dan aku banyak belajar dari ibu. 

Aku selalu bersemangat menemuinya, sembari melihat Yoses dan Yosia belajar dirumah. Dan setiap aku main kerumahnya, aku akan disambut dengan hangat dan selalu dilayani sebaik-baiknya layaknya tamu, walaupun aku sudah sering main kerumahnya pelayanannya dari pertama aku main hingga terakhir kemaren aku pamit pulang tetap sama. Aku akan dipersilahkan duduk, diberi minum, didengarkan ceritanya dan setiap aku pulang selalu saja ada yang kubawa pulang, ntah itu buah atau sayur sebagai oleh-oleh. 

Ibu selalu mengajarkan anak-anaknya nilai kebaikan dengan penuh cinta kasih, tak pernah aku mendengar ia memarahi anak-anaknya. Yoses dan Yosia termasuk muridku yang cukup pandai di sekolah.  Ibu sangat tulus melayani jamaatnya di gereja, dan dari ceritanya baru kutau ternyata ibu juga orang baru (pendatang) di dusun sama seperti ku. Ibu dan keluarganya pindah karena mutasi dari gereja sebelumnya. Sebagai sesama pendatang ibu paham betul perasaanku ketika berada di dusun. 

Aku pernah ngobrol lama hampir lebih 4 jam bersama ibu dan hampir lupa waktu, kalau saja waktu itu ibu tidak harus menghadiri undangan ibadah mungkin obrolan kami akan berlanjut hingga larut malam. 

Pernah suatu ketika aku main kerumahnya di hari Jumat dan aku bilang akan pergi ke kabupaten untuk merayakan Idul Fitri bersama teman-temanku, ibu lalu membujukku 

"Maya jangan dulu pergi, tunggu kasi lewat hari Minggu, apa nanti ada yang mau ibu buat untuk bekal Maya" 

"Aduh ibu minta maaf, tapi so baku janji dengan teman-teman pigi hari Jumat"

"Eh jangan dulu, apa ibu mau bikin burasa (ketupatnya orang sulawesi) dan kasi tau jamaat yang orang tua murid utk kasi apakah buat Maya, buat lebaran" 

Ya begitulah pembelajaran toleransi yang kudapat dipenempatan. 

Sama hal nya ketika bulan puasa, hampir setiap sore Yoses atau Yosia akan datang kerumahku membawakan makanan, buah pisang, kue yang bisa kumakan untuk berbuka.  Selalu kutanya "Siapa yang kasi ini?" "Mamaku ibu guru"

Aku merindukan kebaikan-kebaikan itu yang setulus itu diberikan dan aku mengingatnya menjadikan pembelajaran berharga dalam hidupku.

Terakhir waktu berpamitan untuk pulang, lagi-lagi aku dilayani dengan baik disambut hangat. Moment makan durian bersama di teras rumah ibu menjadi moment yang membekas dikepalaku hari ini, bagaimana tidak ibu sangat mengutamakanku, Yoses Yosia pun dilarang memakan durian sebelum aku makan duluan "Jangan dulu nak, itu untuk ibu Maya, jarang-jarang ibu Maya bsa makan durian, kalau kita selalu ada saja durian nanti" 

Bapak dengan semangatnya membelah durian menggunakan pisau tajamnya, lebih dari 5 durian yang kami makan siang itu, kehangatan obrolan dan nikmatnya rasa durian membawa kami terlena lupa akan rasa sedih bahwasannya kami akan berpisah. Dan seperti biasa aku akan mendapat oleh-oleh, aku dibekali 3 buah durian montong, seolah ibu tau kesukaanku dan andai durian itu barang yang bisa disimpan mungkin aku akan menyimpannya hingga hari ini sebagai kenangan. 

Betapa beruntungnya aku mendapat pengalaman ini dan hatiku penuh akan cinta kasih dari orang-orang yang kutemui. 

Terima kasih untuk kebersamaanya keluarga Ibu Gembala ; Ibu, bapak, Yoses, Yosia dan juga Yoas, Tuhan Yesus Memberkati, sampai bertemu dilain waktu :)

Foto bersama sebelum berpamitan (Bapak, Ibu, Yosia (baju hijau), Yoses (ketutupan Asep dg kucingnya) Nasya (baju merah),
Asep, Evelin, Febri)

3 Buah durian Montong yang jadi oleh-oleh



Komentar