Boleh ibu ba bantu antar surat ?

 

Upacara bendera

“Ini adalah upacara Hari Pahlawan Nasional pertama yang diadakan di Wongkodono sejak 77 tahun Indonesia Merdeka”

Kalimat yang  keluar dari mulut pak Anto saat menjadi Pembina upacara hari itu berhasil membuatku tertegun dan berkaca-kaca serta terbersit rasa bangga. Bangga melihat anak-anak ku (read; petugas upacara) yang hari itu tampil maksimal  setelah berhari-hari latihan ; yang ku tau menyita waktu istirahat dan bermain mereka.

“Kasi fokus dan serius e kalau upacara nanti, bu guru su ajak orang satu dusun ba upacara, jangan kasi malu, anak-anak Wongkodono su pintar, pasti orang tua kalian bangga”

Ini adalah kalimat ajaib yang selalu kuramalkan setiap kali latihan upacara bersama anak-anak. Moment perayaan Hari Pahlawan di dusunku meninggalkan cerita haru yang sayang sekali kalau tidak kuceritakan.

Berhari-hari dibuat ragu oleh ombak dan hujan ketika hendak menyebrang ke desa dan kecamatan untuk menemui guru-guru dan kepala sekolah. Maklum sebagian besar guru-guru tinggal di seberang danau. Menyebrang untuk mengajak secara langsung ; ikut serta upacara.

Terhitung sudah 3 hari sejak tanggal 6 hingga 9 November cuaca tak menentu ; hujan dan ombak di danau kurang bersahabat. Rencana menyebrangpun sudah sampai batas harinya.

“Biar bagaimanapun kabar akan diadakannya upacara harus tersampaikan kepada guru dan kepala sekolah” ngebatin saat duduk diruang guru.

Hari itu Rabu, 9 November kuputuskan untuk berkirim surat karena memang sulit sekali menemukan sinyal di Wongkodono. Diam-diam aku berangkat menuju tepi danau tanpa diketahui keluarga piaraku, kalaulah mereka tau sudah pasti dilarang mengingat jarak berkilo-kilo meter dan jalanan yang kadang membuatku mengucap istigfhar.

Nasya, Yosua dan Gio yang melihat ibu gurunya berjalan membawa ransel lengkap dengan botol minumnya berteriak dari kejauhan

“Ibu guru mau kemana ?”

“Ibu mau ba liat air di kuala”

Terpaksa aku berbohong, karena kalaulah mereka tau diriku akan ke tepi danau, anak-anak pasti heboh, orang-orang dusun akan tau dan berakhir akan dilarang. Huftt

Aku terus berjalan, dan ternyata ketiga muridku itu mengikuti ku dari belakang. Astaga…

Gio-Yosua-Nasya

Jadilah kami berempat berjalan kaki menelusuri sawah dan kebun dengan misi menemui bapak/ibu petani yang pulang dari ladang  di dermaga yang biasanya menyebrang lalu menitipkan surat.

Sesampainya di dermaga, ku keluarkan selembar kertas, pulpen dan amplop dari dalam ranselku, lalu menuliskan pesan yang ingin disampaikan dengan sekeping papan yang kujadikan meja untuk menulis. Selesai menulis kulipat rapi suratnya dan kumasukkan ke dalam amplop, sementara ketiga anakku, dorang sudah melepas pakaiannya dan menceburkan dirinya ke dalam danau. Luar biasa…

Mereka berenang dengan riang, seketika hilang rasa lelah setelah berjalan kaki berkilo-kilo meter menemani gurunya. Mereka mandi diguyur hujan, yap karena sepanjang perjalananpun kami memang sudah di guyur hujan, basah kuyup meskipun sudah memakai payung dan jas hujan.

Tidak lama menunggu, dari kejauhan keliatan bapak dan ibu-ibu yang pulang dari sawah berjalan kaki kearahku. Alhamdulillah, tidak sabar untuk menyapanya dan meminta bantuan untuk mengantarkan surat ke kepala sekolah.

“Ibu guru mau menyebrang?”

“Tidak ibu, saya mau minta tolong, bisa ibu ba antar surat ini untuk kepala sekolah?” (sambil ku perlihatkan amplop putih berisi surat yang sudah kualamatkan ke kepala sekolah)

 “Oh bisa ibu, pasti penting ini e, nanti kami usahakan antar ke rumah kepala sekolah”

Surat yang dititipkan

Mendengar jawabannya sungguh sangat melegahkan. Dan lalu diriku langsung bergegas mengarahkan muridku untuk segera menyelesaikan berenangnya, lalu kami balik lagi ke dusun. Setelah kurang lebih 90 menit berjalan kaki, kami sampai dirumah masing-masing.

Keesokan harinya adalah hari upacara yang sudah ditunggu-tunggu. Anak-anak datang lebih awal, berpakaian rapi merah putih. Upacara tepat dimulai pukul 07.00 WITA dengan dihadiri kepala dusun dan orang tua murid yang sudah diundang satu hari sebelumnya.

“Ibu guru, nanti datang e kepala sekolah?” tanya Adin (muridku yang menjadi penggerek bendera) pagi itu.
“Kita liat nanti ya, semoga kepala sekolah datang” jawabku dengan optimis, berusaha tetap mengontrol semangat anak-anakku ketika 10 menit lagi upacara akan dimulai.

Hmm pandanganku kosong jauh ke ujung jalan di dusun, cemas-cemas harap akan ada kepala sekolah hadir, ah tapi nihil hingga pembacaan doa pun tidak kuliat tanda-tanda kepala sekolah atau guru yang lain datang.

Yasudahlah nak, maafkan ibu yaaa.., mungkin sudah menjadi takdir kita tinggal didusun yang sangat sulit sinyal sehingga pesan atau informasi yang ingin disampaikanpun menjadi sulit sekali untuk disampaikan. Ibu ga tau apa surat yang ibu kirimkan itu sudah sampai ntah belum. Tapi yang ibu tau ibu sudah berusaha dan berdoa. Dan mungkin juga karena ombak besar yang menjadi halangan guru dan kepala sekolah untuk datang hari itu. 

Tidak sampai hanya di foto bersama setelah upacara, anak-anak langsung ku ajak bermain dan berlomba di halaman sekolah untuk merayakan suka cita perayaan “Hari Pahlawan Nasional”

Foto bersama setelah upacara
Anak-anak bermain di halaman sekolah

Terakhir, terima kasih anak-anak ibu yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun J

Komentar