Hitam Putih
Pemimpin Kita
Tulisan ini saya tulis sebagai bentuk refleksi 74 tahun kemerdekaan bangsa kita yang akan kita rayakan sebentar lagi!
Antara
dipuji dan dicaci sepertinya menjadi nasib semua pemimpin. Tak ada pemimpin di
dunia yang selamanya dipuji atau sebaliknya dicaci. Pasti ada yang mencaci, ada
pula yang memuji, baik di negara otoririter maupun negara demokrasi, seperti
negara kita Indonesia. Pujian
& cacian merupakan konsekuensi dari sebuah kepemimpinan yang menjadi titik
pandang semua mata masyarakat.
Jika kita amati sejak presiden pertama Soekarno hingga sekarang Pak Jokowi akan selalu ada kelompok yang mencaci para pemimpin bangsa ini, seolah merasa dirinya paling benar. Padahal jika kita runut track record para pencaci, mereka juga belum melakukan hal-hal nyata bagi kemajuan pembangunan bangsa ini. Ibarat pertandingan sepak bola, yang sibuk mencaci dan memaki biasanya penonton di tribun. Padahal, faktanya mereka tak bisa bermain bola. Itulah demokrasi kita sekarang ini, itulah kualitas pemahaman kita, ironis memang.
- Presiden Soekarno sebagai Bapak Proklamator dipuji karena keberaniannya dan kemampuan intelektual serta oratornya yang memikat. Pancasila sebagai gagasan brilliannya menjadi rujukan di tengah keragaman warga negara. Bung Karno menggagas Konferensi Asia Afrika sebagai wadah negara-negara terjajah yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok. Dari perannya tersebut, Bung Karno tak hanya dikenang bangsa sendiri, tapi oleh bangsa Asia dan Afrika. Soekarno menjadi simbol bangsa. Namun dari beberapa kebijakannya pula, Bung Karno mendapat ganjalan, kritik dan caci maki. Ekonomi yang carut marut menyebabkan sebagian masyarakat sengsara. Bahkan melalui dekrit yang dikeluarkan soekarno pada 5 Juli 1959, menjadi tonggak matinya kebebasan seiring dilaksanakannya demokrasi terpimpin. Berbagai gejolak tak terelakkan sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kepemimpinan Soekarno yang akhirnya memaksa Soekarno mengakhiri masa kepemimpinan yang dipegangnya selama 21 tahun melalui proses yang tidak semestinya.
- Presiden soeharto dipuji sebagai Bapak Pembangunan, karena keberhasilannya dalam menumbuhkan perekonomian Indonesia. Bahkan dibawah kepemimpinannya, Indonesia termasuk salah satu macan Asia di bidang ekonomi. Di bawah kepemimpinannya pula, Indonesia bisa berswasembada beras dan mendapatkan penghargaan tertinggi, medali emas dari organisasi pangan dan pertanian dunia, FAO. Begitu juga dalam hal kependudukan, Soeharto mendapatkan UN Population Award, penghargaan tertinggi dari PBB dalam bidang kependudukan. Namun, dengan sistem otoriter dan sentralistik yang dikembangkannya Masyarakat kehilangan hak-hak politiknya, Korupsi tak terlacak, Pelanggaran HAM tak terbaca,Dan kesenjangan ekonomi semakin melebar di antara masyarakat. Pengunduran Presiden Soeharto, setelah mendapat desakan kuat dari berbagai komponen masyarakat, menjadi symbol meledaknya ketidakpuasan dan caci-maki atas kepemimpinanya selama 32 tahun.
- Era Reformasi yang diawali oleh kepemimpinan B.J Habibie sebagai tindak lanjut dari pengunduran diri Soerharto juga mengalami “pengadilan” yang sama. Kebebasan pers yang mulai terbuka setelah sebelumnya terancam oleh kebijakan pencabutan SIUPP menjadi salah satu langkah yang mendapat banyak pujian. Pembebasan tahanan politik dan percepatan pemilu. Namun, dalam hal ini, Habibie mendapat banyak kritikan, bahkan cacian. Terkait kebijakan referendum atau jajak pendapat bagi masyarakat di Timor Timur, misalnya, dinilai sebagai kebijakan yang teburu-buru dengan segala akibat buruknya. Pilihan antara otonomi khusus dan pemisahan diri di tengah ketidakpuasan masyarakat Timor Timur terhadap pemerintah menjadi pelecut keterlepasan provinsi termuda itu dengan Indonesia. Kebijakan tersebut mendapat tentangan keras dari para sesepuh TNI yang telah berjuang mengamankan Timor Timur sejak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitu juga stigma sebagai kroni Soeharto menjadi beban tersendiri bagi B.J. Habibie dalam menjalankan kepemimpinannya. Terlebih setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR RI, menjadi akhir dari upaya pencalonannya kembali menjadi presiden.
- Pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, muncul optimism karena sosoknya yang dianggap pluralis, demokratis dan menghargai keberadaan kelompok minoritas yang selama masa sebelumnya selalu mendapatkan tindakan diskriminatif. Gus Dur membuktikannya melalui pengakuan terhadap keberadaan agama Kong Hu Cu dan hari-hari besar terkait agama tersebut. Di sisi lain, aspek-aspek dari optimism itu tak sepenuhnya terjawab. Kegaduhan politik hamper setiap saat terjadi karena kebijakan dan langkah-langkahnya yang serba mengejutkan. Otoritas kepemimpinannya dipergunakan secara maksimal tanpa melihat konteks dan otoritas lembaga-lembaga lainnya. Pembubaran beberapa departemen yang dilakukan Gus Dur menuai cacian khususnya dari pegawai yang terancam oleh keputusan tersebut. Begitu juga bongkar-pasang cabinet yang sering memunculkan tanda Tanya, bukan hanya di pikiran sang menteri, tapi juga di kalangan masyarakat. Semua politik zig zag Gus Dur berakhir dengan digelarnya Sidang Istimewa MPR yang menghentikan semua optimism yang muncul kuat di atas keterpilihannya.
- Era Megawati Soekarnoputri juga memunculkan optimisme karena selain mendapatkan dukungan dari MPR RI juga sebagai Ketua Umum PDIP yang menguasai kursi di DPR RI. Paling tidak, dukungan tersebut dapat memperkuat kebijakan yang diambilnya. Harapan besar semakin memuncak karena PDIP mengkaim dirinya sebagai partai wong cilik. Tampaknya, tak sedikit masyarakat kecewa dengan sikap dan langkah Megawati saat memimpin negara. Bukan hanya masyarakat luas, sebagiab kader partainya juga kecewa karena sebagai presiden, Megawati gagal menyelesaikan kasus penyerbuan terhadap kantor partainya sendiri, PDI pada 27 Juli 1996. Padahal peristiwa yang disebut “Kudatuli” ini sering disimbolkan sebagai monument intervensu dan represi Orde Baru yang darinya Megawati dan PDI mendapatkan banyak simpati. Yang tak sedikit mengundang kritik bahkan cacian adalah kebijakan penjualan beberapa BUMN yang masih produktif, seperti Indosat dan kebijakan pengampunan terhadap para konglomerat pengemplang uang rakyat melalui kebijakan release and discharge.
Sekian!
Komentar
Posting Komentar